MATARAM, radarntb.com–Kuota penangkapan benih bening lobster (BBL) untuk kepentingan ekspor di NTB belum dimaksimalkan para nelayan, yang tergabung dalam kelompok usaha bersama (KUB).
Dari kuota penangkapan sebanyak 6 juta ekor BBL, hingga November lalu baru tercapai 1,5 juta ekor saja yang telah diekspor. ”Sisanya masih ada 4,5 juta ekor kuotanya,” kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislutkan) NTB Muslim.
Penangkapan BBL untuk nelayan di NTB dilakukan hingga wilayah Teluk Bone, Selat Makassar, Laut Flores dan Laut Bali. Ini berdasarkan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP RI) 713.
Meski demikian, realisasi ekspor BBL justru tidak maksimal. Kondisi tersebut salah satunya dipengaruhi PermenKP Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan. Regulasi ini mulai berlaku 21 Maret 2024.
Untuk mengekspor BBL ke luar negeri, harus melalui Badan Layanan Umum (BLU) Perikanan Budi Daya. Karena telah ditunjuk KKP untuk memfasilitasi transaksi BBL tersebut kepada investor.
Namun dalam praktiknya, nelayan yang tergabung di KUB atau koperasi, kesulitan menjual hasil tangkapan BBL. ”Persoalannya di pesanan barang yang diminta BLU hanya berdurasi tiga hari,” ujarnya.
Muslim memberi contoh, misalnya BLU memesan 100 ribu ekor BBL ke koperasi A, tetapi koperasi ini dalam tiga hari hanya mampu mengumpulkan 70 ribu ekor BBL. Setelah tiga hari pesanan itu tidak berlaku, yang dibeli hanya 70 ribu ekor itu saja.
Seharusnya, kata Muslim, BLU tidak memberikan tenggat waktu kepada KUB. Sehingga penjualan dari hasil tangkapan BBL bisa maksimal.
“Nelayan menunggu seminggu hingga dua minggu, bahkan hingga 1 bulan baru datang lagi pesanan,” kata dia.
Kendala lainnya, harga BBL yang didapatkan pembudi daya lokal menjadi mahal. Mestinya KKP memberikan akses bibit BBL yang murah dan berkualitas untuk masyarakat.
Sebab itu, Dislutkan NTB mendorong agar PermenKP Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan direvisi KKP. Bila perlu, pemerintah pusat menghadirkan layanan BLU sekaligus dengan perusahaan mitra eksportir di dalam daerah. “Sehingga arus penjualan hasil tangkap BBL ada setiap harinya,” ujarnya.
Tak kalah penting, setiap pengeluaran BBL juga disisihkan untuk menambah PAD. “Jangan semua dibawa ke pusat, kita sebagai daerah penghasil nggak dapat apa-apa, sehingga kami usulkan PermenKP itu direvisi,” pungkasnya.