MATARAM, radarntb.com–Pembentukan produk hukum daerah di NTB dinilai masih menghadapi banyak persoalan. Mulai dari perencanaan yang belum sistematis, naskah akademik yang belum optimal, hingga proses pembahasan yang kerap tidak sejalan antara eksekutif dan legislatif.
Persoalan tersebut mengemuka dalam Rapat Koordinasi Biro Hukum se-NTB di Mataram, Senin (25/8). Pakar hukum Universitas Mataram Dr Muh Risnain mengatakan, peraturan daerah (perda) dan peraturan kepala daerah (perkada) memiliki dasar konstitusional yang kuat sebagaimana Pasal 18 ayat 6 UUD 1945 serta UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Karena itu, produk hukum daerah tidak boleh bertentangan dengan regulasi di atasnya.
Risnain menjelaskan, pengawasan terhadap perda sebenarnya sudah diatur melalui berbagai mekanisme, mulai dari eksekutif review, preview, parlement review, hingga judicial review. Namun dalam praktiknya, harmonisasi justru sering tumpang tindih karena melibatkan banyak lembaga, seperti Kemenkumham, Kemendagri, serta biro hukum di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. “Hal ini membuat proses pembentukan perda semakin panjang,” jelasnya.
Ia merekomendasikan agar mekanisme pembentukan perda disederhanakan. Harmonisasi perda provinsi cukup dilakukan Kemenkumham, sedangkan perda kabupaten/kota difasilitasi Biro Hukum provinsi. “Perlu ada perubahan UU Nomor 12 Tahun 2011 dan Permendagri Nomor 80 Tahun 2015 agar prosedurnya lebih sederhana,” ujarnya.
Sementara pakar hukum Dr Basri Mulyani SH MH mendorong pemerintah daerah mulai menerapkan metode omnibus law dalam penataan perda. Menurutnya, metode ini mampu menyederhanakan regulasi yang selama ini terlalu gemuk dan tumpang tindih. “Metode omnibus law sudah dipakai jauh sebelum UU Cipta Kerja, salah satunya dalam UUPA 1960,” katanya.
Data pemerintah mencatat, hingga 2021 terdapat 40.873 regulasi di Indonesia, termasuk 15.982 perda. Kondisi ini disebut sebagai obesitas regulasi karena membuat birokrasi panjang, tidak sinkron, dan menghambat pelayanan publik. Basri menilai, penataan perda dengan omnibus law akan mempercepat sinkronisasi aturan daerah dengan undang-undang nasional.
“Pemerintah daerah perlu menginventarisasi perda yang ada, mengelompokkan berdasarkan bidang, lalu menyusun program pembentukan perda yang lebih ramping dan harmonis,” jelasnya. Menurutnya, langkah itu akan menekan tumpang tindih aturan sekaligus meningkatkan kepastian hukum, efektivitas pelayanan publik, dan kualitas legislasi daerah.
Pandangan serupa disampaikan D.A. Malik yang menekankan pentingnya partisipasi publik dalam pembentukan produk hukum daerah. “Partisipasi publik bukan hanya landasan yuridis, tetapi juga filosofis untuk menghasilkan produk hukum yang berkeadilan dan bermanfaat berdasarkan Pancasila,” katanya.
Malik menjelaskan, pelibatan masyarakat bisa dilakukan melalui konsultasi publik, rapat dengar pendapat, kunjungan kerja, sosialisasi, seminar, maupun diskusi. Ia menilai, banyak perda lahir tanpa keterlibatan publik yang memadai, padahal UU Nomor 23 Tahun 2014 serta UU Nomor 13 Tahun 2022 menegaskan hak masyarakat untuk memberi masukan secara lisan maupun tertulis.
“Dengan keterlibatan publik, masyarakat bisa ikut mengawasi jalannya pemerintahan sekaligus mencegah penyalahgunaan kewenangan,” jelasnya.
Pandangan para pakar ini menegaskan bahwa pembenahan regulasi di NTB perlu dilakukan secara menyeluruh. Tidak hanya melalui penyederhanaan prosedur dan metode omnibus law, tetapi juga dengan memperkuat partisipasi masyarakat agar produk hukum daerah lebih berkualitas, demokratis, dan bermanfaat bagi publik.













