google-site-verification=ifJPc0uzRA4Y4Fdt8VWeGvttPAD7V18nkgstdtOyxms Budaya Literasi Pesantren di Era Digital : Sebuah Tantangan. - Radar NTB

Budaya Literasi Pesantren di Era Digital : Sebuah Tantangan.

  • Bagikan
Budaya Literasi Pesantren di Era Digital : Sebuah Tantangan.
H Ahamd Sujai - radarntb.com

Opini Berjudul Budaya Literasi Pesantren di Era Digital : Sebuah Tantangan ini dipersembahkan oleh H. Ahmad Sujai “Kandidat Doktor di Pascasarjana Universitas Islam Negeri Mataram”.


Dalam Islam, budaya literasi telah dikenal dan dipraktikkan Sejak Kenabian Muhammad melalui perintah membaca (Lihat Surah Al-Alaq). Sebagai tonggak pertama bahwa dalam Islam praktik perintah membaca merupakan hal utama. Sehingga dalam satu Riwayat disebutkan Nabi Muhammad akan membebaskan tawanan perang jika tawanan tersebut dapat mengajarkan minimal membaca kepada ummat Islam, saat itu.

Melihat latar sejarah sejak kenabian, massa khulafaurrasyidin dan kontestasi praktik dimasa kemajuan Islam yang dieknal dengan masa rennaisance sejak Abd 9, 10, 11 hingga pertengahan abad 12 pun menjadikan tolak ukur bahwa geliat budaya belajar dan membaca merupakan ciri masyarakat Islam saat itu. Sebagaimana para alim ulama kaliber semasa dan sezaman saat itu mampu menjadikan Islam sebagai kiblat dunia Barat dan Eropa saat itu.

Itu dahulu ? Lalu bagaiamana tradisi literasi masyarakat Islam Indonesia saat ini? Untuk menjawab hal ini membutuhkan kajian dan data untuk mendukungnya. Setidaknya Muslim Indonesia menyumbang prosentase kemajuan dan termasuk kemunduran, termasuk diantaranya peran lembaga pendidikan Islam, dalam hal ini pesantren. Sebagai contoh disebutkan oleh Muhammad Iqbal dalam penelitiannya di Jurnal Pengabdian Masyarakat Volume 1 Nomor 1 (2020) disebutkan bahwa budaya membaca masyarakat Indonesia masih rendah, dimana idealnya satu buku dibaca sepuluh orang, namun ternyata ditemukan bahwa satu buku dibaca oleh empat puluh lima orang. Kondisi diatas tentu sangat memprihatinkan bila dibandingkan dengan negara tetangga semisal sebut saja Filifina.

Refleksi untuk Budaya Literasi di Pesantren

Jumlah pesantren atau dikenal dengan pondok pesantren di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat (NTB) sebagaimana mengutip dipontren.kemenag.go.id dengan sebaran sebagai berikut, Lombok Barat 98 pesantren, Lombok Tengah 230 pesantren, Lombok Timur 188 pondok pesantren, Lombok Utara 20 pondok pesantren, dan Kota Mataram 14 pondok pesantren.

Nah, bila dilihat dari kuantitas kelembagaan pondok pesantren diatas setidaknya terdapat optimisme menjadikan lembaga tersebut sebagai ujung tombak pelestarian tradisi literasi, terutama budaya literasi berbasis nilai keIslaman, karena sejak lama Islam telah mencatatkan dirinya sebagai episentrum literasi.

Bagaimana sesungguhnya eksistensi budaya literasi dapat dimaksimalkan di pondok pesantren ?. Setidaknya dalam interaksi pembelajaran di pondok pesantren terdapat bimbingan dari pembimbing/ustaz selama 24 jam untuk pemerolehan nilai, pengetahuan serta keterampilan sesuai distingsi pondok pesantren tersebut. Maka sejatinya dengan kelebihan tersebut sebagai model untuk kecendikiaan atau keunggulannya.

Dalam budaya pondok pesantren dikenal luas pula budaya literasi yang berbasis kitab kuing, sebuah litaratur klasik yang menggunakan Bahasa Arab, tanpa harakat (baris) adalah ciri kitab yang dipelajari, sebut saja kitab klasik yang dipelajari santri semisal nahwu dan sharf. Nah, dalam artikel ini penulis mencoba memperkenalkan kepada pembaca tentang penemuan cara praktis membaca nahwu sharf menggunakan metode al-miftah lil ‘Ulum yang dirancang oleh dan didesain oleh Badan Tarbiyah wa Ta’lim Madrasi (Batartama) di Pondok Pesantren Sidogiri yang kini diadopsi untuk pembelajar pemula agar cepat membaca kitan kuning pun menjadi mudah dan menyenangkan, termasuk di Pulau Lombok.

Dengan menggunakan metode diatas, penulis yakini dengan adanya metode diatas merupakan kerangka praktis pembiasaan membaca literasi yang ditengarai mengalami “pemunahan”. Dari metode diatas, temuan penulis diperoleh bahwa metode tersebut mudah dipahami, rumusannya sederhana, menggunakan tabel, skema, terdapat model latihan, serta kombinasi syair atau lagu yang cocok dan praktis bagi pembelajar pemula atau lanjut.

Progress penggunaan metode diatas diperoleh pemahaman baru bahwa belajar kitab kuning itu gampang dan mudah, asalkan para santri memiliki keistiqomahan dalam belajar, kedisiplinan ustaz dalam pembimbingan, efesiensi waktu dan dukungan lingkungan belajar yang representatif.

Pondok Pesantren Era Digital

Kehadiran dan eksistensi pondok pesantren yang diharapkan mengirim pesan trend di era digital saat ini adalah ekspektasi ummat. Transformasi tersebut dapat dilakukan melalui kanal para santri, yang diharapkan bukan semata melahirkan santri bercorak normative teologis, namun lebih dari itu santri transpormatif teologis yang disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman dengan tidak meninggalkan tradisi lama dengan tetap berkolaborasi dengan tuntunan zaman kekinian. Semisal budaya literasi kitab kuning adalah cita rasa asli masyarakat pesantren yang tetap penting dipertahankan sembari mensearching pengalaman dan informasi baru untuk eksistensi, sehingga ruh dan dan spektrum pondok pesantren tidak mengalami ketertinggalan. Tetap mempertahankan spritualitas, menjunjung tinggi akhlaq serta memperkaya ilmu pengetahuan, sains dan teknologi. Itulah santri litertaif di era digital abad 21.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *